Sarjana
atau lulusan universitas? Jangan keburu bangga. Sebab, ijasah tinggi
bukan jaminan kesuksesan seseorang. Sebaliknya, meski ijasah rendah
belum tentu pula jadi kere.
Mau bukti? Eka Tjipta
Widjaya, pendiri Sinar Mas Grup, masuk 3 besar orang terkaya Indonesia
versi majalah Globe Asia. Kabarnya, total kekayaannya ± USD 3,8 milyar.
Tapi siapa sangka, dia hanya lulusan SD.
Inilah kisahnya.
Nama
asli Eka Tjipta Widjaya adalah Oei Ek Tjhong. Dia lahir 3 Oktober
1923. Saat kecil, keluarganya hidup dalam kemiskinan. Bersama ibunya, ia
pindah ke Makassar pada tahun 1932, ketika usianya 9 tahun.
Tiba
di Makassar, Eka kecil – masih dengan nama Oei Ek Tjhong – segera
membantu ayahnya yang sudah lebih dulu tiba dan mempunyai toko kecil.
Tujuannya jelas, segera mendapatkan 150 dollar, guna dibayarkan kepada
rentenir. Dua tahun kemudian, utang terbayar, toko ayahnya maju. Eka pun
minta Sekolah. Tapi Eka menolak duduk di kelas satu.
Tamat
SD, ia tak bisa melanjutkan sekolahnya karena masalah ekonomi. Ia pun
mulai jualan. Ia keliling kota Makassar, menjajakan biskuit dan kembang
gula. Hanya dua bulan, ia sudah mengail laba Rp. 20, jumlah yang besar
masa itu. Harga beras ketika itu masih 3-4 sen per kilogram. Melihat
usahanya berkembang, Eka membeli becak untuk memuat barangnya.
Namun
ketika usahanya tumbuh subur, datang Jepang menyerbu Indonesia,
termasuk ke Makassar, sehingga usahanya hancur total. Ia menganggur
total, tak ada barang impor/ekspor yang bisa dijual. Total laba Rp. 2000
yang ia kumpulkan susah payah selama beberapa tahun, habis
dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Di tengah
harapan yang nyaris putus, Eka mengayuh sepeda bututnya dan keliling
Makassar. Sampailah ia ke Paotere (pinggiran Makassar, kini salah satu
pangkalan perahu terbesar di luar Jawa). Di situ ia melihat betapa
ratusan tentara Jepang sedang mengawasi ratusan tawanan pasukan
Belanda.
Tapi bukan tentara Jepang dan Belanda itu yang
menarik Eka, melainkan tumpukan terigu, semen, gula, yang masih dalam
keadaan baik. Otak bisnis Eka segera berputar. Secepatnya ia kembali ke
rumah dan mengadakan persiapan untuk membuka tenda di dekat lokasi
itu. Ia merencanakan menjual makanan dan minuman kepada tentara Jepang
yang ada di lapangan kerja itu.
Keesokan harinya,
masih pukul empat subuh, Eka sudah di Paotere. Ia membawa serta kopi,
gula, kaleng bekas minyak tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang
untuk membuat air panas, cangkir, sendok dan sebagainya. Semula alat
itu ia pinjam dari ibunya. Enam ekor ayam ayahnya ikut ia pinjam. Ayam
itu dipotong dan dibikin ayam putih gosok garam. Dia juga pinjam satu
botol wiskey, satu botol brandy dan satu botol anggur dari
teman-temannya.
Jam tujuh pagi ia sudah siap jualan.
Benar saja, pukul tujuh, 30 orang Jepang dan tawanan Belanda mulai
datang bekerja. Tapi sampai pukul sembilan pagi, tidak ada pengunjung.
Eka memutuskan mendekati bos pasukan Jepang. Eka mentraktir si Jepang
makan minum di tenda.
Setelah mencicipi seperempat ayam
komplit dengan kecap cuka dan bawang putih, minum dua teguk whisky
gratis, si Jepang bilang joto. Setelah itu, semua anak buahnya dan
tawanan diperbolehkan makan minum di tenda Eka. Tentu saja ia minta
izin mengangkat semua barang yang sudah dibuang.
Segera
Eka mengerahkan anak-anak sekampung mengangkat barang-barang itu dan
membayar mereka 5 – 10 sen. Semua barang diangkat ke rumah dengan
becak. Rumah berikut halaman Eka, dan setengah halaman tetangga penuh
terisi segala macam barang.
Ia pun bekerja keras
memilih apa yang dapat dipakai dan dijual. Terigu misalnya, yang masih
baik dipisahkan. Yang sudah keras ditumbuk kembali dan dirawat sampai
dapat dipakai lagi. Ia pun belajar bagaimana menjahit karung.
Karena
waktu itu keadaan perang, maka suplai bahan bangunan dan barang
keperluan sangat kurang. Itu sebabnya semen, terigu, arak Cina dan
barang lainnya yang ia peroleh dari puing-puing itu menjadi sangat
berharga. Ia mulai menjual terigu.
Semula hanya Rp. 50
per karung, lalu ia menaikkan menjadi Rp. 60, dan akhirnya Rp. 150.
Untuk semen, ia mulai jual Rp. 20 per karung, kemudian Rp. 40.
Kala
itu ada kontraktor hendak membeli semennya, untuk membuat kuburan
orang kaya. Tentu Eka menolak, sebab menurut dia ngapain jual semen ke
kontraktor? Maka Eka pun kemudian menjadi kontraktor pembuat kuburan
orang kaya.
Ia bayar tukang Rp. 15 per hari ditambah 20
persen saham kosong untuk mengadakan kontrak pembuatan enam kuburan
mewah. Ia mulai dengan Rp. 3.500 per kuburan, dan yang terakhir
membayar Rp. 6.000. Setelah semen dan besi beton habis, ia berhenti
sebagai kontraktor kuburan.
Demikianlah Eka, berhenti
sebagai kontraktor kuburan, ia berdagang kopra, dan berlayar
berhari-hari ke Selayar (Selatan Sulsel) dan ke sentra-sentra kopra
lainnya untuk memperoleh kopra murah.
Eka mereguk laba
besar, tetapi mendadak ia nyaris bangkrut karena Jepang mengeluarkan
peraturan bahwa jual beli minyak kelapa dikuasai Mitsubishi yang
memberi Rp. 1,80 per kaleng. Padahal di pasaran harga per kaleng Rp. 6.
Eka rugi besar.
Ia mencari peluang lain. Berdagang
gula, lalu teng-teng (makanan khas Makassar dari gula merah dan kacang
tanah), wijen, kembang gula. Tapi ketika mulai berkibar, harga gula
jatuh, ia rugi besar, modalnya habis lagi, bahkan berutang. Eka harus
menjual mobil jip, dua sedan serta menjual perhiasan keluarga termasuk
cincin kawin untuk menutup utang dagang.
Tapi Eka
berusaha lagi. Dari usaha leveransir dan aneka kebutuhan lainnya.
Usahanya juga masih jatuh bangun. Misalnya, ketika sudah berkibar tahun
1950-an, ada Permesta, dan barang dagangannya, terutama kopra habis
dijarah oknum-oknum Permesta. Modal dia habis lagi. Namun Eka bangkit
lagi, dan berdagang lagi.
Usahanya baru benar-benar
melesat dan tak jatuh-jatuh setelah Orde Baru, era yang menurut Eka,
“memberi kesejukkan era usaha”. Pria bertangan dingin ini mampu
membenahi aneka usaha yang tadinya “tak ada apa-apanya” menjadi “ada
apa-apanya”. Tjiwi Kimia, yang dibangun 1976, dan berproduksi 10.000
ton kertas (1978) dipacu menjadi 600.000 ton sekarang ini.
Tahun
1980-1981 ia membeli perkebunan kelapa sawit seluas 10 ribu hektar di
Riau, mesin serta pabrik berkapasitas 60 ribu ton. Perkebunan dan
pabrik teh seluas 1.000 hektar berkapasitas 20 ribu ton dibelinya pula.
Tahun
1982, ia membeli Bank Internasional Indonesia. Awalnya BII hanya dua
cabang dengan aset Rp. 13 milyar. Setelah dipegang dua belas tahun, BII
kini memiliki 40 cabang dan cabang pembantu, dengan aset Rp. 9,2
trilyun. PT Indah Kiat juga dibeli. Produksi awal (1984) hanya 50.000
ton per tahun.
Sepuluh tahun kemudian produksi Indah
Kiat menjadi 700.000 ton pulp per tahun, dan 650.000 ton kertas per
tahun. Tak sampai di bisnis perbankan, kertas, minyak, Eka juga
merancah bisnis real estate. Ia bangun ITC Mangga Dua, ruko, apartemen
lengkap dengan pusat perdagangan. Di Roxy ia bangun apartemen Green
View, di Kuningan ada Ambassador.
“Saya Sungguh
menyadari, saya bisa seperti sekarang karena Tuhan Maha Baik. Saya
sangat percaya Tuhan, dan selalu ingin menjadi hamba Nya yang baik,”
katanya mengomentari semua suksesnya kini. “Kecuali itu, hematlah,”
tambahnya.
Ia menyarankan, kalau hendak menjadi
pengusaha besar, belajarlah mengendalikan uang. Jangan laba hanya Rp.
100, belanjanya Rp. 90. Dan kalau untung Cuma Rp. 200, jangan coba-coba
belanja Rp. 210,” Waahhh, itu cilaka betul,” katanya.
Setelah
58 tahun berbisnis dan bergelar konglomerat, Eka mengatakan, dia
pribadi sebenarnya sangat miskin. “Tiap memikirkan utang berikut
bunganya yang demikian besar, saya tak berani menggunakan uang
sembarangan. Ingin rehat susah, sebab waktu terkuras untuk bisnis.
Terasa benar tak ada waktu menggunakan uang pribadi,” Eka mengeluh.
Hendak makan makanan enak, lanjutya, sulit benar karena makanan enak
rata-rata berkolesterol tinggi.
Inilah ironi, kata Eka.
Dulu ia susah makan makanan enak karena miskin. Kini ketika sudah
“konglomerat” (dengan 70 ribu karyawan dan hampir 200 perusahaan), Eka
tetap susah makan enak, karena takut kolestrol. Usia ayah delapan anak
kelahiran 3 Oktober 1923 ini sudah hampir 73 tahun. Usia yang
menuntutnya menjaga kesehatan secara ketat dan prima.
Selasa, 16 September 2014
Bagikan di Facebook
Bagikan di Twitter
Hanya Lulus SD, Tapi Menjadi Orang Terkaya No 3 di Indonesia
Bagikan di Facebook
Bagikan di Twitter
Baca Juga Artikel Terkait Untuk Hanya Lulus SD, Tapi Menjadi Orang Terkaya No 3 di Indonesia
Berlangganan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)